Hari ini saya ke kampus sekalian melihat kalau2 pengumuman seminar hasil sudah ditempel atau belum dan juga menghadiri seminar hasil salah satu teman. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan jam 11 lewat. Saatnya sholat jumat. Awalnya saya berencana untuk jumatan di luar kampus karena biasanya di kampus penuh sesak masjidnya. Tapi teman saya mengajak untuk sholat jumat di gedung rektorat.
Setelah naik ke lantai lima naik lift, sampailah saya ke sebuah ruangan yang lumayan luas yang disulap menjadi semacam mushola. Untung ada beberapa sendal jepit entah punya siapa. Pinjam sebentar buat wudhu. (ya Allah berilah balasan yang setimpal kepada pemilik sendal, amiin).
Biasanya saya jumatan di sekitar kosan. Dan topik kutbah nya bisa ditebak dan monoton. Nah, kali ini saya menemukan sesuatu yang berbeda. Biasanya saya terkantuk kantuk. Kali ini melek dan mendengarkan dengan serius. Temanya mungkin sama dengan tema kutbah yang lain, yaitu masalah ketakwaan. Namun, disampaikan dengan cara yang berbeda. Diawali kalau ketakwaan ibaratnya usaha kita untuk mendapat surga yang sejatinya kaplingannya sudah ditentukan. Untuk memiliki kaplingan tersebut kita harus memiliki ketakwaan. Dengan ketakwaan manusia juga memiliki kecerdasan secara ekonomi, sosial, emosional, spiritual, dsb (saya agak lupa). Saya tidak tahu bagaimana sosok khotib ini karena tertutup sebuah tiang yang lumayan besar. Saya hanya mendengar suaranya saja. Mungkin ini juga menambah ketertarikan saya. Khotib ini menyampaikan ayat Al Quran dengan menghubungkannya dengan fenomena nyata disekitar. Tentang kerusuhan mojokerto, anak sd yang mencoba bunuh diri saking kepinginnya sekolah. Selain mengambil Al Quran dan Hadits juga ditambah buku buku populer dan penelitian penelitian ilmiah. Ini yang membuatnya tidak terlalu di awang awang dan mudah dicerna terutama yang ilmunya cetek seperti saya ini.
Satu hal yang saya paling ingat. Khotib berkata bahwa dalam Islam manusia yang paling baik bukan manusia yang tidak pernah berbuat salah, namun manusia yang belajar dari kesalahan dan bertobat.
Ketika pulang ternyata lumayan ramai (saya tidak tahu karena di shaf nomor dua dari depan). Ketika saya menunduk untuk mengambil sepatu seseorang dengan santainya menginjak sepatu saya dan dengan tenangnya dia (cukup lama) mencari cari kemudian memakai sendalnya. Hati sudah mulai panas, namun teringat tentang kecerdasan sosial yang dijelaskan tadi. Ya sudahlah, saya lebih memilh kaplingan di surga dari pada ribut karena hal sepele.
2010/07/15
Jumatan yang Berbeda
Posted by
blog e obie
at
11:52:00 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment