2012/01/17

Kembali ke Semarang


Tenang, bukan kembali menetap disana. Kali ini saya hanya sekedar berkunjung saja kesini. Semarang. Hmm.. mendengar namanya membawa ingatan saya ke sekitar enam bulan yang lalu. Waktu itu dengan kepala yang masih setengah plontos saya dan teman – teman yang lain berangkat menuju kota ini mengadu nasib. Teman – teman baru yang kebanyakan belum saya kenal.

tol ini akhirnya beroperasi

Sekitar empat bulan di sana membawa kesan tersendiri bagi saya. Walaupun saya belum mengeksplor terlalu jauh kota ini. Maklum, di sana saya mengandalkan angkutan umum kawan. Sekarang, enam bulan kemudian saya menginjakkan kaki di stasiun yang sama. Stasiun dengan kolam besar di depannya sebagai tempat resapan air, Stasiun Tawang. Menyusuri jalan – jalan batako di depan stasiun diantara gedung gedung lama kota tua. Hari terakhir sebelum saya kembali ke Surabaya saya dan beberapa teman menyempatkan diri berfoto diantara gedung – gedung ini.

pintu masuk Bandungan, "Kota Batu" nya Semarang

Walaupun sebenarnya kurang lengkap dengan tidak adanya teman-teman saya di Semarang dulu namun lumayan mengobati rasa kangen. Bisa melihat lagi lampu lampu kecil di kejauhan. Semarang memiliki kontur berbukit – bukit kawan. Kalau pas di atas tengoklah kebawah dan kamu akan disuguhi pemandangan kota Semarang dari kejauhan. Dimalam hari pemandangan ini akan tampak luar biasa. Pernah suatu waktu ketika saya naik travel ke Semarang saya dibawa melintasi suatu daerah dengan jalan kecil di tepi bukit. Tepat di bawah bukit itu terhampar kawasan perumahan yang di malam hari hanya nampak lampunya yang kerlap kerlip. Suatu pemandangan yang mengasyikkan.

Salah satu candi Gedong Songo

Suasana Car Free Day di seputar Simpang Lima

Hanya satu hari dua malam saya mengunjungi kota ini. Setelah keperluan selesai saya pun segera kembali ke Surabaya. Sampai jumpa lagi Semarang.

Menginjakkan Kaki di Pulau Borneo


Kali ini, karena ada tugas dari kantor tempat saya bekerja, saya berkesempatan mengunjungi pulau Kalimantan. Sebenarnya yang saya tuju Kalimantan Tengah. Namun karena saya harus tiba siang hari disana terpaksan memilih penerbangan yang mengharuskan saya transit dulu di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Lumayanlah pernah mengunjungi Banjarmasin walaupun Cuma mampir di bandaranya saja.

Bagaimana Pulau Kalimantan itu? Tiba di Banjarmasin saya tidak menemui banyak perbedaan. Bahkan di warung di sekitar bandara masih bisa ditemui nasi pecel. Cuaca memang agak terik namun bagi yang terbiasa di Surabaya, terik matahari seperti itu mungkin sudah biasa. Sejenak di Banjarmasin akhirnya menuju ke tujuan sebenarnya, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Pangkalan Bun dari angkasa

Kalau bukan karena sedang ada pemberitaan gencar tentang kabupaten ini, pasti saya merasa asing mendengar namanya. Beberapa hari sebelum mengunjungi kabupaten ini sempat terjadi konflik yang dilatarbelakangi masalah pilkada disana dan sempat juga terjadi pembakaran rumah dinas bupati. Sia – sia sebetulnya, karena uang untuk membangun rumah itu asalnya juga dari masyarakat sendiri.


Sampai di bandara Pangkalan Bun suasana penjagaan ekstra ketat sudah terasa. Personnel militer tampak berjaga – jaga di berbagai sudut. Kali ini nampaknya benar – benar tidak mau kecolongan dengan masih adanya potensi konflik di sana. Terlepas dari konflik yang ada, saya celingak – celinguk melihat – lihat kabupaten ini. Masih banyak ditemui rumah papan disini, kawan. Bentuk atap rumahnya pun unik dengan ujung lancip. Semua bangunan pemerintah masih mempertahankan ciri khas ini.
pesawat yang saya tumpangi

Suasana di kota ini tenang, jauh berbeda dengan hiruk pikuk Surabaya. Beberapa ruas jalan bahkan masih kosong di kanan kirinya. Hanya rerimbunan alang – alang. Lumayan serem juga ketika melintasi jalan ini di malam hari. Yang unik disini adalah banyak sekali “bau” jawa terutama jawa tengah. Jangan kaget kalau mobil yang berseliweran di sini berplatnomot AB, AD, G, H dan sebagainya. Dan jangan kaget pula ketika makan di warung ibu penjualnya bisa kromo inggil mlipis. Bahkan ada salah satu kawasan yang bernama Bumiharjo. Benar – benar jawa banget. Zona waktunya pun masih WIB, bukan WITA seperti halnya Kalimantan Selatan.



Satu hal yang pasti, bertambah lagi satu lokasi di gps internal saya. Indonesia itu ternyata luas kawan. Beruntunglah kita diahirkan di bumi yang kaya ini.

2012/01/07

Penjual Terhebat Bl*ck Berry

Nomer pin mu berapa? Mungkin pertanyaan seperti ini sering sekali kita dengar. Lantas apabila kita menjawab “nggak punya BB”, maka kalimat berikutnya yang kita dengar adalah “Heeh? Nggak punya BB?” Cepetan beli biar bisa bbm an bla bla bla”. Fenomena seperti ini sering sekali saya jumpai bahkan saya alami sendiri.

Kadang saya sendiri juga heran. Seolah olah gadget yang satu ini dapat juga disebut sebuah aliran. Dan “kaum” aliran tersebut berusaha menarik orang lain kedalamnya. Hal ini lebih dari pada sekedar kebutuhan bahkan gaya hidup.

Mungkin inilah yang menyebabkan negara ini tidak membutuhkan waktu lama untuk menjadi salah satu negara dengan jumlah pemakai terbanyak. Nggak perlu repot – repot menggaji sales yang berbusa – busa menawarkan produk ke calon konsumen yang terkadang menoleh pun tidak apabila disodori produk baru. Dengan konsumennya sendiri pun penjualan tetap berjalan.

Entah kenapa konsumen berubah menjadi sales yang militan menawarkan produk yang dibelinya, yang konsumen itu sendiri tidak memperoleh keuntungan selain tambahan satu akun baru atau pin baru milik temannya. Dengan harapan bisa lebih mudah berkomunikasi, yang sistem komunikasinya (chat) sebenarnya juga bisa dilakukan sistem lain dengan biaya nol alias gratis.

Seperti halnya aliran, dikemudian hari muncul aliran baru yang bernama “android”. Dengan sistem open source yang murah dan kemampuan kinerja yang mumpuni aliran baru ini segera mendapat banyak pengikut. Kedua pengikut aliran ini pun sering “bentrok” memperdebatkan siapa yang lebih unggul.

Sebenarnya alasan apa kita membeli suatu produk? Apakah karena kita membutuhkannya, atau sekedar mengikuti tren yang ada? Walaupun ujung ujungnya terserah juga, karena itu uang – uang kita sendiri. Namun setidaknya kita memiliki alasan lebih dari sekedar “ingin” atau bahkan lebih dari sekedar “tren”.

Dan ketika akhirnya diputuskan untuk membeli suatu produk, apakah kita akan sebatas menggunakannya atau bahkan mungkin terjun ke dalam “aliran”nya? Kita akan beriklan gratis kepada setiap orang yang kita temui.

Jadi, siapa penjual terhebat Bl*ck Berry? Mungkin bisa jadi anda sendiri.