2011/03/20

Nggak Terasa Ternyata Sudah Seminggu Lebih


Beginilah nasib job seeker kawan, moncat mancit kesana kemari mengadu nasib. Kali ini saya terdampar di kota terbesar kedua di indonesia yaitu surabaya. Berhubung ada interview dan tes pekerjaan saya pun meluncur ke kota ini.

Seperti biasa ketika pertama kali tiba di suatu daerah yang asing, semua terasa membingungkan. Bahkan berbeda gang saja saya bingung. Sekarang juga masih bingung namun sudah mulai mengenal lingkungan sekitar terutama swalayan dan warung warung dimana saya bisa beli makan. Dan nggak terasa ternyata sudah seminggu lebih saya di sini. Menumpang di kosan teman (makasih ya).

Sebenarnya sudah sering ke surabaya, namun baru kali ini merasakan tinggal di surabaya. Bagaimana rasanya? hmm, ada beberapa hal yang sudah saya perkirakan dan ada beberapa yang diluar dugaan. Seperti yang saya duga, surabaya ibarat sauna raksasa. Panas. Pakaian sehari hari adalah tidak berpakaian. Cukup kaos dalam saja, itupun keringat masih bercucuran. Satu satunya keuntungan dari situasi ini adalah cepatnya menjemur pakaian. Cukup beberapa jam sudah lumayan kering. Bahkan yang tidak terkena panas langsung pun juga kering terkena hawa panasnya. Kipas angin juga bukan solusi yang tokcer karena kipas ini juga membuat panas merata.

Namun ada juga yang diluar dugaan. Ternyata kok disini lebih aman dari kota yang lama saya tinggali sebelumnya, malang. Dengan santainya motor berjajar di gang gang. Aman aman saja. Dulu di malang sudah di garasi berpagar, dikunci, digembok, alarm dll saja masih bisa hilang.

Di sini juga saya ikut dan menyaksikan bagaimana perjuangan mencari kerja. Ada yang datang dari jauh, dan setelah tes baju dilipat, dimasukkan tas karena besok dipakai kembali. Ada yang memakai make up yang lumayan heboh. Berbagai macam karakter juga terlihat. Ada yang begitu yakin saat tes, bahkan mengerjakan sambil nyanyi nyanyi (di samping saya). Ada yang tiba tiba otaknya buntu dan menghela nafas panjang (saya). Dan setelah tes pun banyak yang masih meributkan sesuatu misalnya ragu tadi sudah tanda tangan atau belum di lembar jawaban.

Banyak yang asik ngobrol ngobrol bagi yang ikut tes dengan teman temannya. Dan saya cuma plonga plongo saja. Karena tidak ada yang saya kenal. Inilah namanya sendiri di tengah keramaian kawan. Dan saya memilih untuk menjadi observator saja. Melihat lihat dan mengamat amati.

Dan masih ada tes lagi yang harus saya lalui. Semoga saja ini jalan yang terbaik untuk saya, dan akhirnya bisa diterima. Namun, kalaupun tidak, semoga saya senantiasa diberi keikhlasan, dan diberi kekuatan lagi untuk terus semangat dan berusaha, amiin.

2011/03/09

Umur Berapakah Pertama Kali Dipanggil Pak / Bu?


Kemarin, saya berkeliling mengurus SKCK. Tahu sendiri kan prosesnya? ribet. Harus kesana kemari. Nah, tempat ketiga yang saya datangi adalah kantor kecamatan. Setelah menyerahkan berkas dari desa saya pun menunggu di luar untuk di tanda tangan dan di stempel. Pas saya menunggu ada salah satu ibu petugas yang keluar ruangan. Saya melihat dan bermaksud menyapa walaupun nggak kenal. Ternyata si ibu ini dulu yang menyapa saya. Namun terlihat bingung menentukan sapaan yang pas. Akhirnya meluncurlah kata kata, mau daftar apa PAK pakai SKCK nya? akhirnya saya jawab untuk mendaftar di salah satu bumn.

Nah, untuk saya pertama kali dipanggil pak umur 22 tahun. Si ibu memanggil saya pak mungkin dari pakaian yang saya kenakan. Karena sebelum kata itu meluncur si ibu mengamat amati saya dulu. Saya sengaja memakai pakaian yang agak formal karena akan keluar masuk kantor.

Sebenernya ini kali kedua saya dipanggil pak. Beberapa minggu lalu adalah yang pertama. Selesai jumatan saya mampir di foto kopi untuk membeli amplop. Pakaian yang saya kenakan tentu baju muslim dan pakai celana bahan warna hitam. Setelah saya masuk dan tanya tanya si penjaga toko memanggil saya pak. Gubrak! hehe. Memang pada saat itu karena agak lama nggak ada urusan sesuatu apa saya males cukur kumis dan jenggot. Memang sih nggak separah tom hanks di film cast away tp sudah cukup morat marit (walaupun memang aslinya dari sononya tampang saya juga morat marit, hehe). Apalagi ditambah baju koko ala bapak bapak, klop deh.

Rasanya agak aneh juga dipanggil pak. Tapi juga terasa bertambah dewasa beberapa kali lipat, hehe. Biasanya sih saya kemana mana dipanggil mas. Nah, bagaimana dengan anda? kapan pertama kali dipanggil pak / bu?

2011/03/03

Alangkah Lucunya (Negeri Ini)




Akhirnya, setelah film pocong ngesot, suster ngesot, babi kepet ngesot, hantu jembatan ngesot, hantu buah buahan ngesot, hantu rumah sakit ngesot, hantu janda perawan ngesot, dan semua makhluk ngesot yang lain, ada juga film produksi anak negeri yang menurut saya menarik. Film menarik ini berjudul ”Alangkah Lucunya (negeri ini)”. Film yang sangat lengkap pesannya menurut saya, baik nasionalisme, sosial dan tentu ciri khas pak Dedy Mizwar, unsur religius nya kental. Nah buat yang penasaran ingin nonton, berikut ini saya ceritakan sedikit jalan ceritanya.

Awal mula film ini diceritakan seorang sarjana management bernama Muluk sedang berkeliling mencari pekerjaan. Kisah ini sedikit banyak juga saya alami, hehe. Saya juga baru lulus dan sering muter muter mencari kerja. Nah, di tengah perjalanan ketika melintasi sebuah pasar dia mendapati seorang anak yag tengah mencopet bersama rekan rekannya. Setelah dibuntuti akhirnya si anak tertangkap, namun akhirnya ia melepas anak tersebut. Nah, tentang anak pencopet inilah yang akan mengisi cerita film ini.
Muluk menyukai seorang anak tetangganya. Namun karena ia tidak punya pekerjaan ayah si gadis tidak setuju, dan mengancam menikahkan anaknya dengan ”calon” anggota DPR. Serinkali juga terjadi perdebatan antara ayah si Muluk dan si ayah si gadis mengenai pendidikan. Apakah pendidikan itu penting atau tidak, pertanyaan yang menggelitik menurut saya.

Akhirnya setelah sumpek kesana kemari mencari pekerjaan, dan sempat kepikiran beternak cacing, Muluk bertemu lagi dengan si anak pencopet. Muluk meminta kepada si anak yang bernama komet untuk menunjukkan tempat tingalnya dan teman – temannya. Ternyata Muluk memiliki rencana. Setelah bertemu dengan anak – anak pencopet dan bosnya, Muluk mengajak bekerja sama. Ia menawarkan untuk mengelola sebagian hasil mencopet sebesar 10 persen, dan mereka setuju.

Dimulailah manajeman profesional di kumpulan pencopet cilik ini. Pembagian daerah kerja dilakukan. Hasil mencopet dicatat dalam pembukuan yang rapi, dan sebagian disimpan dalam bank. Dan hasilnya pun lumayan. Dalam waktu sekejap sudah terkumpul jutaan rupiah. Muluk pun ingin memberikan sesuatu kepada anak anak ini. Yang paling penting tentu, pendidikan. Ia mengajak temannya seorang sarjana pendidikan yang pekerjaan sehari harinya bermain gaple di pos ronda. Tidak mudah mengajak anak anak ini belajar. Akhirnya setelah di iming imingi bahwa dengan pendidikan mereka bisa mencopet lebih banyak misal dengan menjadi koruptor, mereka pun semangat. Muluk juga mengajak pipit tetangganya yang lain untuk mengajar agama. Resmilah, Muluk dan kedua temannya ini bekerja dan digaji oleh para pencopet.

Apa yang dilakukan Muluk ini banyak membawa manfaat. Ia memiliki penghasilan. Temannya tidak pernah main gaple lagi dan dengan semangat mengajarkan nasionalisme. Pipit tidak lagi hobi mengirim kuis dan berharap hadiah jutaan. Anak-anak pencopet pun berubah. Mereka menjadi nasionalis sekaligus religius. Suatu hari ayah muluk, calon ayah mertua, dan ayah pipit datang. Ketika mereka tahu gaji yang diterima anak anaknya dari mencopet mereka pun kecewa. Selama ini Muluk mengatakan kepada ayahnya bekerja di bagian pengembangan sumber daya manusia. Muluk pun memutuskan untuk mengakhiri pekerjaannya dengan para pencopet ini. Namun, sebelum pergi muluk menawari beberapa anak untuk menjadi pengasong. Awalnya tidak ada yang mau. Namun, setelah Muluk pergi, bos si pencopet menawari lagi dan beberapa anak bersedia. Resmilah beberapa anak tersebut berhenti mencopet dan menjadi pengasong.

Suatu ketika, muluk tengah mengikuti kursus mengemudi, agar lebih mudah memperoleh pekerjaan kalau bisa menyetir. Di tengah jalan muluk bertemu dengan mantan anak pencopet yang kini mengasong di jalan. Ia bangga sekali karena kini si anak bekerja halal. Namun, tiba tiba datang rombongan satpol pp dan berusaha menangkap anak anak mantan pencopet. Untunglah, dengan bantuan Muluk mereka bisa lolos, dan sebagai gantinya si Muluk yang ditangkap. Diiringi lirik soundtrack, tanah air... kutidak kulupakan.., si muluk diangkut petugas, dan anak anak mantan copet hanya bisa melihat dari jauh dan menangis. Di akhir film disebutkan salah satu pasal dalam UUD, yakni pasal 34, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, yang tentu saja akan membuat tersenyum yang melihatnya.

Film ini sangat detail dan sangat lengkap pesan yang disampaikan. Seringkali kita dibuat tersenyum sendiri. Dan memang benar. Negeri ini memang lucu, ironis dan lucu. Undang undang di negara ini begitu bagus dan terdengar begitu indah. Namun kenyataanya? Sebuah ironi. Pesan pesan di dalam film ini tersampaikan dengan baik dengan didukung pemain pemain dengan akting yang bagus. Semua juga sesuai proporsinya. Dan yang penting yang disampaikan film ini berimbang. Tidak hanya kritik, namun juga memberikan inspirasi untuk perubahan. Dan di akhir film dipertegas lagi bahwa bagaimanapun negeri ini harus kita cintai. Negeri ini, dengan carut marutnya kondisi yang ada sangat membutuhkan kita.