2012/08/12

Berdagang Jangan Berdagang Kalau Banyak Bohongnya

Salah satu profesi yang mungkin tertua di dunia mungkin berdagang. Entah dulu bagaimana cara berdagang dilakukan. Entah dengan menukar barang satu dengan yang lain atau dengan sesuatu benda yang bernilai sebagai standar nilai tukar. Sampai sekarang pun berdagang masih dilakukan tentunya dengan cara yang semakin beragam dan juga memanfaatkan teknologi canggih.

Salah satu yang menggelitik saya dari urusan dagang berdagang ini yaitu bagaimana cara si penjual meyakinkan pembeli. Beberapa waktu lalu saat berburu hp saya coba melihat – lihat hp second di salah satu daerah sentra jual beli hp di bali. Akhirnya saya mulai tertarik pada salah satu counter. Barang secara fisik masih mulus bagus. Harga juga tidak terlalu tinggi dan masih bisa ditawar. Garansi barang pun masih panjang dari garansi resmi. Sangat menarik. Namun saya memutuskan untuk tidak jadi beli. Kenapa? Karena si mas penjual semangat sekali meyakinkan saya. Mungkin secara ilmu marketing hal ini bagus ya? Berusaha meyakinkan calon customer bahwa produk yang dimiliki bagus. Tapi saya bukan tipe orang yang suka dengan cuap – cuap iklan kecap seperti ini. Semakin bersemangat penjual menawarkan sesuatu entah kenapa saya semakin curiga. Pasti ada apa – apanya. Pasti ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Walaupun mungkin kadang si penjual memang sedang menjual barang yang bagus. Kecurigaan saya semakin besar ketika sepuluh menit disitu terdapat kurang lebih lima orang yang komplain barangnya bermasalah. Si mas penjual kelihatan sangat kecewa ketika saya memutuskan melangkah keluar. Sudah berbusa busa ternyata nggak jadi, begitu mungkin pikirnya.

Lebih logis masuk ke kepala saya kalau si penjual melakukan metode apa adanya. Begini kondisinya mas.. kekurangannya ini blab la bla, namun secara umum kualitasnya masih bagus toh ada garansinya. Dan dengan penjual yang tidak terlalu banyak cuap cuap seperti ini akhirnya saya deal, barang berpindah tangan.

Pengalaman saya selanjutnya ketika hunting laptop di salah satu mall pusat IT. Di mall ini cara kerja salesnya agak ekstrim kawan. Enggak beda jauh dengan makelar penumpang di terminal Bungurasih Surabaya. Akhirnya saya mampir ke salah satu kios yang penjualnya kelihatan pasrah menunggu pembeli. Tanya sekilas lumayan, harga cukup miring. Terdapat dua penjual, mas dan mbak, di kios tersebut. Saya terlebih dulu tanya tanya harga ke mas nya. Sekilas harganya cukup lumayan lebih murah. Akhirnya setelah tanya ini itu saya mengulangi pertanyaan yang sama ke si mbak. Dan lucunya si mbak ini memberikan harga yang cukup mahal ditambah penjelasan, di tempat lain nggak ada mas yang semurah ini. Hehe, terlihat sudah, kurang koordinasi. Langsung saya sikat, saya jelaskan kalau si mas memberikan harga yang lebih murah. Si mbak melirik masnya dengan cemberut, campur malu tentunya. Sekalian serang saja, harga saya tawar lebih murah lagi dari yang ditawarkan masnya. Babat habis, gak pake bonus bonusan mbak, saya bilang. Si mbak akhirnya terpojok dan menyebutkan harga. Dan setelah saya muter – muter memang standar harganya di kisaran itu. Namun yang jelas saya tidak beli di situ. Saya hampir saja dibodohi kawan.

Dunia berdagang dan tawar menawar memang unik kawan. Setiap penjual pasti menjelaskan kalau kecapnya nomor satu. Tidak ada kecap yang nomor dua kawan. Jikalau ada lima merek kecap pasti semuanya menjelaskan kalau kecapnya nomor satu. Jadi mau memilih kecap dari penjual yang mana?

Salah satu profesi yang mungkin tertua di dunia mungkin berdagang. Entah dulu bagaimana cara berdagang dilakukan. Entah dengan menukar barang satu dengan yang lain atau dengan sesuatu benda yang bernilai sebagai standar nilai tukar. Sampai sekarang pun berdagang masih dilakukan tentunya dengan cara yang semakin beragam dan juga memanfaatkan teknologi canggih.

Salah satu yang menggelitik saya dari urusan dagang berdagang ini yaitu bagaimana cara si penjual meyakinkan pembeli. Beberapa waktu lalu saat berburu hp saya coba melihat – lihat hp second di salah satu daerah sentra jual beli hp di bali. Akhirnya saya mulai tertarik pada salah satu counter. Barang secara fisik masih mulus bagus. Harga juga tidak terlalu tinggi dan masih bisa ditawar. Garansi barang pun masih panjang dari garansi resmi. Sangat menarik. Namun saya memutuskan untuk tidak jadi beli. Kenapa? Karena si mas penjual semangat sekali meyakinkan saya. Mungkin secara ilmu marketing hal ini bagus ya? Berusaha meyakinkan calon customer bahwa produk yang dimiliki bagus. Tapi saya bukan tipe orang yang suka dengan cuap – cuap iklan kecap seperti ini. Semakin bersemangat penjual menawarkan sesuatu entah kenapa saya semakin curiga. Pasti ada apa – apanya. Pasti ada sesuatu yang berusaha disembunyikan. Walaupun mungkin kadang si penjual memang sedang menjual barang yang bagus. Kecurigaan saya semakin besar ketika sepuluh menit disitu terdapat kurang lebih lima orang yang komplain barangnya bermasalah. Si mas penjual kelihatan sangat kecewa ketika saya memutuskan melangkah keluar. Sudah berbusa busa ternyata nggak jadi, begitu mungkin pikirnya.

Lebih logis masuk ke kepala saya kalau si penjual melakukan metode apa adanya. Begini kondisinya mas.. kekurangannya ini blab la bla, namun secara umum kualitasnya masih bagus toh ada garansinya. Dan dengan penjual yang tidak terlalu banyak cuap cuap seperti ini akhirnya saya deal, barang berpindah tangan.

Pengalaman saya selanjutnya ketika hunting laptop di salah satu mall pusat IT. Di mall ini cara kerja salesnya agak ekstrim kawan. Enggak beda jauh dengan makelar penumpang di terminal Bungurasih Surabaya. Akhirnya saya mampir ke salah satu kios yang penjualnya kelihatan pasrah menunggu pembeli. Tanya sekilas lumayan, harga cukup miring. Terdapat dua penjual, mas dan mbak, di kios tersebut. Saya terlebih dulu tanya tanya harga ke mas nya. Sekilas harganya cukup lumayan lebih murah. Akhirnya setelah tanya ini itu saya mengulangi pertanyaan yang sama ke si mbak. Dan lucunya si mbak ini memberikan harga yang cukup mahal ditambah penjelasan, di tempat lain nggak ada mas yang semurah ini. Hehe, terlihat sudah, kurang koordinasi. Langsung saya sikat, saya jelaskan kalau si mas memberikan harga yang lebih murah. Si mbak melirik masnya dengan cemberut, campur malu tentunya. Sekalian serang saja, harga saya tawar lebih murah lagi dari yang ditawarkan masnya. Babat habis, gak pake bonus bonusan mbak, saya bilang. Si mbak akhirnya terpojok dan menyebutkan harga. Dan setelah saya muter – muter memang standar harganya di kisaran itu. Namun yang jelas saya tidak beli di situ. Saya hampir saja dibodohi kawan.

Dunia berdagang dan tawar menawar memang unik kawan. Setiap penjual pasti menjelaskan kalau kecapnya nomor satu. Tidak ada kecap yang nomor dua kawan. Jikalau ada lima merek kecap pasti semuanya menjelaskan kalau kecapnya nomor satu. Jadi mau memilih kecap dari penjual yang mana?