2011/01/28

Masalah Lapangan Kerja Ternyata Bukan Hanya di Indonesia

Salah satu channel favorit saya adalah NHK World. Stasiun tv milik jepang namun disiarkan di seluruh dunia memakai bahasa inggris. Seperti slogannya, “your eye in asia” NHK World membahas kondisi di asia. Hari ini dibahas bagaimana lulusan universitas di Cina berjuang untuk mencari pekerjaan.

Yang saya sukai dari NHK kebanyakan acara nya bersifat dokumenter. Seolah – olah kita sedang mengamati langsung si narasumber. Tidak ada interview dan sebagainya. Kali ini yang menjadi narasumber adalah 3 orang lulusan universitas di Cina. Sayang saya melewatkan bagian depannya, jadi tidak tahu pasti dari jurusan apa ketiganya. Orang pertama bekerja sambilan dengan membagikan brosur. Orang kedua, gadis remaja yang bekerja di galeri seni. Orang ketiga, seorang peniup saxofon di sebuah band yang manggung di sebuah cafe. Semuanya memiliki kesamaan, bergaji kecil, dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Ketiganya juga sama terjebak dalam sebuah situasi untuk menghindari status ”menganggur” setelah lulus kuliah. Masyarakat tidak mengenal istilah sarjana nganggur. Mau tidak mau mereka harus berjuang memperoleh pekerjaan.

Orang pertama memiliki dilema. Pengalamannya tidak cukup untuk memperoleh pekerjaan yang bergengsi. Tidak apa. Akhirnya dia mencoba memulai dari awal. Menjadi apapun, bahkan petugas massage kaki. Namun ketika interview ia kembali menghadapi dilema. Petugas interview bahkan tertawa karena seorang sarjana ingin menjadi petugas massage kaki. Sedangkan kebanyakan karyawan di sana hanya lulusan smp. Orang pertama ini tetap berkeras. Namun akhirnya ia tetap tidak diterima. ”kami tidak memerlukan seorang sarjana” menjadi kalimat penutup interview. Inilah repotnya menjadi sarjana. Kalau dipikir pikir memang nanggung. Perusahaan kecil jarang membutuhkan karena gajinya pasti terlalu besar. Sedangkan perusahaan besar tidak mau merekrut karena kebanyakan belum siap kerja karena belum berpengalaman. Akhirnya dia berhasil diterima sebagai sales di sebuah perusahaan. Cocok dengan latar pendidikannya di bidang marketing. Namun hanya sebentar sekali di perusahaan tersebut. Alasannya? Gaji yang kecil dan tingkat kerja yang tinggi .(hmmm..... sepertinya pernah tahu yang kaya gini, hehe). Perbulan gaji yang bisa diterima sebesar 150 dolar atau kurang dari 1,5 jt. Orang pertama ini keluar juga karena setelah diamati pegawai di sana tidak sejahtera.

Orang kedua, gadis lulusan perguruan tinggi, bekerja di sebuah galeri seni. Tidak ada penghasilan pasti. Jarang sekali lukisannya laku. Namun dia tidak berani meminta kiriman uang dari orang tua. Karena sudah bukan tugas orang tuanya lagi untuk membiayai. Setelah kepepet, akhirnya ia memberanikan diri untuk meminta kiriman uang.

Orang ketiga, pemain saxofon di sebuah cafe. Posisinya lebih sulit. Ia telah menikah dan memiliki satu orang anak yang masih bayi. Gajinya juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Istri dan anaknya bahkan harus tinggal di kampung halamannya karena ia tidak mungkin bisa membiayai di tempat tinggalnya sekarang. Satu kali dalam sehari ia melakukan video call melalui internet untuk mengobrol dengan istrinya dan mengamati perkembangan anaknya. Mimpi terbesarnya adalah tinggal bersama sama dengan istri dan anaknya dan mendirikan sebuah rumah makan. Ia tidak bercita cita muluk muluk untuk menjadi orang sukses. Ia hanya ingin bersama istri dan anaknya dan mencukupi kebutuhan keduanya. Akhirnya setelah diterima bekerja di sebuah rumah makan kecil, ia mengutarakan niat untuk mengundurkan diri dari band nya. Namun teman temannya tidak setuju. Mereka kembali mengingatkan mimpi yang bersama sama akan diraih untuk menjadi musisi besar. Kini ia menghadapi dilema. Apabila memilih untuk bekerja di rumah makan ia akan kehilangan teman temannya, dan belum juga nasibnya akan lebih baik bekerja di rumah makan tersebut. Namun apabila bertahan sebagai pemain saxofon ia tetap tidak bisa berkumpul dengan keluarganya karena gajinya tidak cukup.

Ternyata masalah lapangan kerja tidak hanya terjadi di sini. Cina, negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, terus tumbuh ketika negara lain justru terpuruk, masih juga mengalami hal ini. Terutama lapangan kerja untuk lulusan perguruan tinggi. Ada dua persoalan utama yang dihadapi. Untuk bekerja di sektor informal banyak lulusan universitas yang segan, di satu sisi usaha kecil di sektor informal juga tidak mau merekrut karena standar gaji sarjana terlalu tinggi. Masalah kedua, untuk bekerja di perusahaan besar diperlukan pengalaman, atau minimal siap kerja. Kebanyakan sarjana tidak memiliki ini. Akhirnya banyak yang memilih alternatif dengan mengambil sembarang pekerjaan. Sekadar untuk menghindari status pengangguran.

0 comments: