2010/08/21

Hidup di kota mereduksi kepekaan sosial

Setelah saya pikir - pikir ternyata ada perubahan di diri saya selama saya tinggal di malang untuk kuliah. Sedikit banyak hidup disini mereduksi kepekaan sosial saya. Kejadiannya dimulai sekitar dua tahun yang lalu. Saya sedang menunggu teman foto kopi. Karena cuaca lumayan panas saya akhirnya berteduh duduk di emperan ruko yang kebetulan sudah tutup karena pada saat itu sudah lumayan sore. Pas saya duduk ada seorang ibu menghampiri. Beliaunya bertanya jam. Karena saya nggak punya jam tangan akhirnya saya mengambil hp untuk melihat jam. Setelah mendapat jawaban, ibu tersebut lalu duduk. Tak lama, temannya datang. Setelah ngobrol sesaat mereka kemudian mencegat angkot. Tahu tidak profesi ibu ini? ibu ini adalah pengemis yang biasa mangkal di perempatan di sekitar tempat saya berteduh. Mungkin tadi dia tanya jam untuk memastikan "jam kerja" nya selesai. Setelah temannya datang si ibu ini pun pulang.

Kejadian kedua pas saya kebetulan pulang agak larut malam dari rumah seorang teman. Perut yang keroncongan memaksa saya menepi ke penjual nasi goreng di perempatan sebuah daerah di malang. di dekat saya mengantri nasi goreng ada seorang pria duduk di sebuah bangku kayu mengamati sesuatu. Di tengah jalan di perempatan tersebut ada seorang anak sedang meminta minta. Tak lama si pria itu memanggil sang anak. Terlihat sang anak memberikan sesuatu kepada pria tersebut. Hmm... bisa dipahami kan yang terjadi?

Peristiwa - peristiwa tersebut merubah persepsi saya. Entah kapan terakhir kali saya memberikan sedekah untuk pengemis di sini. mungkin beberapa tahun yang lalu. Karena entah mengapa saya tidak lagi tersentuh. Contohnya si ibu yang saya ceritakan di awal. Sampai sekarang si ibu ini tetap beroprasi. Bahkan lebih ekstrim. Sekarang si ibu selalu mengenakan koyo di kening seolah olah sedang sakit. Tak lupa melilitkan jarit kumal di leher. Yang membuat saya heran kok bisa bisanya ya? kalau yang nggak pernah lihat sih nggak papa. La saya sudah berapa tahun lewat jalan yang sama. Sedemikian akutkah sakit kepala si ibu sampai nggak sembuh - sembuh beberapa tahun? Namun yang agak melegakan si ibu sekarang tidak mengajak anaknya. Mungkin anaknya sudah beranjak dewasa dan tidak "pantas" lagi mengemis.

Kalau di sebuah toko sempatkan untuk mengamati. Pengemis disini seakan memiliki jadwal. Mungkin sekitar 15 menit sekali mereka lewat. Orang yang berbeda. Dan mereka pun cukup ahli membedakan mana yang sekiranya akan memberi dan tidak. Kalau berhadapan dengan saya cukup dengan isyarat tangan mereka paham. Bahkan pas saya di perempatan pun tidak mendekat. Tapi kalau pas saya dengan teman semangat sekali mereka mendekat. Mungkin karena sifat wanita yang nggak tegaan jadi pasti diberi.

Sebenarnya nggak enak juga sih waktu menolak untuk memberikan sesuatu. Beberapa ratus rupiah tidak mengurangi jatah hidup saya di sini. Tapi entah kenapa saya merasa ditipu kalau saya memberi sesuatu. Jadi, daripada tidak ikhlas mending tidak usah. Dialihkan saja bersedekah di tempat lain yang sekiranya aman dan Insyaallah sampai kepada yang berhak.

2 comments:

Piyo said...

Betul betul betul bie...
Sebenernya wis dari dulu dikasi tahu kalo ada yang namanya "sindikat" ato "organisasi" pengemis, tapi aq mikirnya, halah yang penting kan niatnya memberi, ntah apa yang dilakukan sama uangnya bukan urusan kita. Tapi lama-lama, karna ketemu orang yang sama dan seakan membuat diri mereka "melas" jadi ngrasanya males. (Astgfirullah)
Sepakat! Kalo pas pingin ngasi ya dikasi, kalo lagi males ya mending nggak usah sekalian timbang nggak ikhlas.

blog e obie said...

awale ak y ngunu. niate ngasih sebodo amat uange disalahgunakan / gak. tp suwe2 tak pikir2 kok terjadi sesuatu yg salah. koyo td bertanggung jawab atas uang iku mau