2009/02/20

Ponari Oh Ponari

Pernahkah anda membayangkan tiba – tiba anda menjadi super sakti dan bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit? Mungkin itu juga yang ada di benak Ponari. Bocah kelas tiga sd ini mungkin tidak pernah menyangka bahwa ia menjadi salah satu orang yang paling diberitakan di republik ini. Tidak hanya program berita atau tayangan khusus, bahkan infotaintment pun memberitakan sosok Ponari.

Kehidupan Ponari berubah sejak ia menemukan sebuah batu. Katanya, batu itu diperoleh ketika hujan dan petir menyambar Ponari. Hebatnya Ponari tidak apa – apa. ( info ini saya peroleh dari stasiun tv swasta, maklum saya sendiri juga belum pernah bertemu Ponari, he.. he..). Kemudian tanpa sengaja, dengan batu itu Ponari berhasil menyembuhkan adiknya yang sakit. Sejak itu kabar meluas dari mulut ke mulut. Hingga akhirnya rumah Ponari dibanjiri ribuan orang yang ingin meminta pertolongannya.

Seperti tak puas dengan “Ryan”, Jombang mengorbitkan “selebriti” baru bernama Ponari. Berbeda dengan Ryan si jagal, yang kejam dan penuh muslihat, Ponari tak lebih dari bocah lugu khas desa. Ketika di wawancarai salah satu tv swasta Ponari tampak malu – malu dan mencoba berlindung kepada ibunya.

Berbagai kontroversi muncul seiring semakin trend nya sosok Ponari di masyarakat. Mulai masyarakat biasa, dokter, artis, ulama, bahkan politikus mempunyai pandangan tersendiri tentang sosok Ponari.

Bagi masyarakat biasa, sebenarnya mereka tak peduli bagaimana cara Ponari mengobati, asalkan mereka / keluarga mereka bisa sembuh. Walaupun mereka sendiri sebenarnya juga menyadari bahwa apa yang dilakukan Ponari tidak rasional. Memang secara logika, bagaimana mungkin air yang dicelupi batu milik Ponari berkhasiat menyembuhkan? Namun pikiran rasional hanya nomor sekian di kepala mereka. Yang mereka tahu bahwa tetangga / kerabat mereka sembuh setelah datang berobat ke Ponari. Selain itu, berobat ke Ponari juga jauh lebih murah dibandingkan berobat secara medis ke dokter / rimah sakit.

Bagi seorang dokter, jelas pengobatan ala Ponari ini sangat tidak rasional dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin ilmu kedokteran yang bertahun – tahun mereka pelajari dengan susah payah menghabiskan begitu banyak biaya dan tenaga dengan sekejap bisa dikalahkan sebuah batu yang dimiliki seorang bocah polos bernama Ponari? Dari dulu tidak ada dokter yang memiliki reputasi seperti Ponari. Tidak ada pasien yang antri sampai berjumlah ribuan. Rela antri berdesak – desakan sejak pagi, bahkan menginap. Bukan main.

Yang agak mengherankan menurut saya, berita mengenai Ponari juga masuk ke acara infotaintment. Wah wah, ternyata si Ponari ini juga dianggap artis. Mungkin ini juga masukan buat para artis di negara kita. Mungkin mereka juga bisa membuat sensasi seperti yang dilakukan Ponari ini. Tidak hanya seperti yang selama ini mereka lakukan. Gonta – ganti pacar, kawin cerai. Mereka hanya perlu mencari batu, terus buka praktek seperti Ponari! He..he..

Yang paling seru pandangan para ulama mengenai hal ini. Seperti kita ketahui bersama, bahwa kalau sudah menyangkut masalah agama, sudah tidak bisa diganggu gugat / di tawar – tawar lagi. Pengasuh ponpes tebu ireng, yang juga adiknya Gus Dur, berpendapat, bahwa selama masyarakat meyakini bahwa Ponari hanya perantara dan yang bisa menyembuhkan hanya Allah, maka yang dilakukan Ponari sah sah saja. Namun pemisah keduanya sangat tipis. Kalau masyarakat “terpeleset” sedikit saja maka bisa dikategorikan syirik. Di tayangan tv kita juga bisa melihat, beberapa “pasien” Ponari mulai “putus asa” dan ngawur sampai – sampai mengambil lumpur dari sebelah kamar mandi Ponari. Kalau sudah begini memang agak kelewatan.

Dalam hal apapun politikus tidak mau kelewatan untuk ambil bagian. Termasuk dalam kasus Ponari. Fenomena ini bisa dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik. Syukur – syukur bisa mendongkrak kepopuleran mereka. Fenomena Ponari adalah simbol ketidak berhasilan pemerintah saat ini dalam penyediaan pelayanan kesehatan, terutama untuk masyarakat miskin. Orang miskin, yang kebetulan apes karena terserang penyakit, tidak berani ke rumah sakit karena tidak punya biaya, bla…bla…bla…yang intinya ( walaupun tersirat dan berbelit – belit ) jangan pilih pemerintah yang sekarang, pilih saya saja, mungkin begitu yang ada di benak mereka.

Saya sendiri belum mengenal / berjumpa Ponari secara langsung. Namun dari yang saya lihat dan baca di berbagai media saya bisa menyimpulkan beberapa hal. Ponari hanyalah anak lugu yang diberi suatu kelebihan oleh Tuhan. Jujur, kalau saya anak – anak dan mendapat berkah seperti Ponari, mungkin saya tidak lagi selugu Ponari. Saya tidak hanya menggenggam ponsel low end seperti yang biasa Ponari bawa. Mungkin saya sudah minta yang aneh – aneh, PSP misalnya. Itulah mungkin kenapa Allah tidak mempercayakan batu itu kepada saya waktu saya kecil dulu!he..he…Tuhan pasti punya alasan menyerahkan batu itu kepada Ponari. Misalnya kalau dilihat dari sisi ekonomi, keluarga Ponari pas – pas an bahkan kurang. Ayah Ponari adalah seorang pencari siput. Keberadaan batu itu mampu memperbaiki kehidupan mereka.

Menurut saya, praktek Ponari tidak seharusnya ditutup. Banyak masyarakat masih membutuhkan. Memang sangat disesalkan empat orang tewas saat mengantri. Namun, dengan mekanisme yang lebih baik, saya rasa hal itu bisa dihindari. Pemda harus bisa memfasilitasi hal ini. Kedepan bisa dibuatkan suatu sistem yang tertata, sehingga tidak terjadi penumpukan massa yang berlebihan yang bisa menyebabkan jatuh korban.

Yang tak kalah penting, pemda juga harus bisa melindungi hak – hak Ponari sebagai seorang anak. Ponari berhak pergi ke sekolah, bermain, dan beristirahat selayaknya anak – anak seusianya. Tidak ada pihak manapun yang berhak mengeksploitasi Ponari. Apalagi untuk tujuan komersil belaka.

Terakhir, saya berharap, semoga Ponari tetap menjadi anak desa yang lugu, yang tidak terpengaruh keadaan. Dan semoga kehadirannya, bisa membawqa manfaat yang lebih besar bagi masyarakat di sekitarnya. Suatu saat, kalau ada kesempatan saya ingin bertemu Ponari, tidak untuk berobat semoga, melainkan hanya untuk mengenal secara langsung.

0 comments: